DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
PENDAHULUAN 4
A.
Latar
Belakang 4
B.
Rumusan
Masalah 5
PEMBAHASAN 6
1.
Siapakah
Da’i ? 6
2.
Siapakah
Mad’u ? 7
3.
Hubungan
Antara Da’i dan Mad’u 8
4.
Model-model
Hubungan Da’i dan Mad’u 10
PENUTUP 13
A.
Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 14
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam perjalanan sejarah selama abad-abad yang lalu psikologi
ilmiah dan agama telah saling bersentuhan. Perjumpaan itu tidak terlalu
bersahabat. Penafsiran psikologis atas agama kerap dilihat sebagai campur
tangan yang tidak pada tempatnya, dan agama memandang psikologi sebagai “ilmu
nakal” yang menangani masalah manusia dengan pandangan yang sempit. Sebaliknya
psikologi kadang-kadang mencap agama sebagai gejala ketidakdewasaan dalam hidup
manusia. Dari perjumpaan itu, entah bersahabat atau tidak, lahir kekayaan
informasi yang bermanfaat. Informasi itu berkaitan dengan hubungan antara
sistem kepercayaan keagamaan dan hidup manusia sendiri sejauh mana kepercayaan
keagamaan menghambat atau mendukung hidup manusia.
Psikologi Dakwah merupakan ilmu yang mengkaji tentang gejala-gejala
yang berhubungan dengan Interaksi sosial kemasyarakatan antara da’i dan mad’u
oleh karena itu dalam diri manusia selalu terdapat beberapa elemen yang layak
untuk kita ketahui bersama, guna mempermudah kita sebagai makhluk sosial dalam
bermasyarakat. Oleh karena itu penting sekali mengkaji tentang unsur-unsur yang
ada dalam diri manusia.
Dalam melaksanakan proses dakwah akan menghadapi berbagai keragaman
dalam berbagai hal, seperti pikiran-pikiran, pengalaman, kepribadian, dan lain-lain.
Keragaman tersebut akan memberikan corak dalam menerima pesan dakwah, karena
itulah untuk mengefektifkan sorang da’i ketika menyampaikan pesan dakwah kepada
mad’u diperlukan memahami psikologi yang mempelajari tentang kejiwaan.
Psikologi dakwah juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang tingkah laku manusia yang merupakan cerminan hidup
kejiwaannya untuk diajak kepada pengalaman ajaran-ajaran islam demi
kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Pada proses dakwah yang bermaksud untuk mengubah sikap kejiwaan
seorang mad’u, maka pengetahuan tentang psikologi dakwah menjadi sesuatu yang
sangat penting. Jika dilihat dari segi psikologi, bahwa dakwah dalam prosesnya
dipandang sebagai pembawa perubahan, atau suatu proses. Dari segi dakwah,
psikologi banyak memberi jalan pada tujuan dakwah pemilihan materi dan penetapan
metodenya. Bagi seorang da’i dengan mempelajari metode psikologi dapat
memungkinkan mengenal berbagai aspek atau prinsip yang dapat menolongnya dalam
meneliti tingkah laku manusia dengan lebih kritis dan juga dapat memberikan
kepadanya pengertian yang lebih mendalam tentang tingkah laku. Psikologi
memberikan jalan bagaimana menyampaikan materi dan menetapkan metode dakwah
kepada individu manusia yang merupakan makhluk yang berjiwa dan memiliki
kepribadian.
Dalam pembahasan kali ini mudah-mudahan dengan sedikit dikupas
tentang masalah ini, akan memberikan penerangan kepada kita semua.
B.
Rumusan
masalah
1.
Siapakah
Da’i ?
2.
Siapakah
Mad’u ?
3.
Bagaimana
Hubungan Antara Da’i dan Mad’u ?
4.
Bagaimana
Model-model Hubungan Da’i dan Mad’u ?
PEMBAHASAN
1.
Siapakah
Da’i
Menurut Ahmad Suyuti Da’i atau mubaligh adalah
berasal dari bahasa Arab “balagha yubalighu” yang berarti orang
yang menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat penerima dakwah.
Da’i dibagi menjadi dua kriteria
yaitu umum dan khusus. Secara umum adalah setiap muslim dan muslimat yang
berdakwah menjadi kewajiban yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai
penganut Islam sesuai dengan perintah “sampaikanlah walau Cuma satu ayat”
Sedangkan secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian khusus dalam
bidang dakwah Islam dengan kesungguhan dan qodrah khasanah.
Da’i berfungsi sebagai penyampai
kebenaran ajaran tauhid, dan membersihkan jiwa manusia dari
kepercayaan-kepercayaan yang keliru.
Sifat-sifat yang harus di miliki oleh seorang Da’i :
a. iman dan taqwa kepada Allah
b. Tulus ikhlas dan tidak mementingkan
kepentingan diri pribadi
c. Ramah dan penuh pengertian
d. Tawadlu’ (rendah diri)
e. Sederhana dan jujur
f. Tidak memiliki sifat egoisme
g. Sifat semangat
h. Sabar dan tawakal
Ulama, Mubaligh maupun Da’i harus bertanggung jawab atas
kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang merintangi jalannya risalah
yang mereka emban untuk diteruskan dalam peradaban manusia.
Banyak para Da’i yang kehilangan metode untuk
keberhasilan dakwah dan mengislamkan manusia. Seandainya saja islam tidak
mempunyai karakter menyebar dan meluas karena kemudahan ajarannya dan respon
dari naluri, tidak mustahil negeri-negeri islam akan dirampas oleh orang lain.
Penyebab utama permasalahan para Da’i ini adalah karena
hampir mayoritas para Da’i tidak memiliki profesionalitas dan tidak dibarengi
dengan hikmah, keikhlasan dan pengorbanan yang besar.
Ini lah rahasia
al-qur’an ketika memberikan orientasi pada proses dakwah pertama
“Maka berilah
peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberikan peringatan.
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (QS. Al-Ghasiyyah: 21-22)
“Dan tidaklah kami
ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya, melainkan dengan
benar. Sesungguhnya saat kiamat itu pasti akan datang, maka maafkan lah
(mereka) dengan cara yang baik, (QS. Al-Hijr: 85)
“Maka berpalinglah
kamu dari mereka dan tunggulah, sesungguhnya mereka juga menunggu,” (QS. As-Sajdah:30)
“Dan bersabarlah
terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik,”
(QS. Al-Muzammil: 10)
Berangkat dari sini kita akan mengetahui kenapa allah menuntut para Da’i
untuk bersabar dalam menerangkan metodenya, tidak mudah bosan mengajak
orang-orang yang kebingungan dan berani menanggung beban kesengsaraan dari
akibat yang ditimbulkan gesekan-gesekan tradisi, dengan harapan ia bisa
mendapatkan kesempatan untuk memasukkan cahaya petunjuk kedalam jiwa manusia.
2. Siapakah Mad’u
Object Dakwah (mad’u) adalah merupakan sasaran dakwah. Yang tertuju pada
masyarakat luas, mulai diri pribadi, keluarga, kelompok, baik yang menganut
Islam maupun tidak.
berdasarkan data-data
rumpun mad’u , dapat dikelompokkan dengan lima tinjauan, yaitu:
a) Mad’u ditinjau dari segi penerimaan dan penolakan ajaran Islam, terbagi
dua, yaitu muslim dan non-muslim.
b) Mad’u ditinjau dari segi tingkat pengalaman ajaran agamanya, terbagi tiga,
dzalimun linafsih, muqtashid dan sabiqun bilkhaerat.
c) Mad’u ditinjau dari tingkat pengetahuan agamanya, terbagi tiga, ulama,
pembelajar dan awam.
d) Mad’u ditinjau dari struktur sosialnya, terbagi tiga; pemerintah
(al-Mala’), masyarakat maju (al-Mufrathin) dan terbelakang (al-Mustadh’afin).
e) Mad’uditinjau dari priorotas dakwah, dimulai dari diri sendiri, keluarga,
masyarakat, dst.
Berdasarkan temuan psikologi agama, latar belakang psikologis, baik di
peroleh berdasarkan faktor intern maupun hasil pengaruh lingkungan memberi ciri
pada pola tingkah laku dan sikap seseorang dalam bertindak. Pola seperti itu
memberi bekas pada sikap seseorang terhadap agama. William James melihat adanya
hubungan tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang
dimilikinya itu.
Dalam bukunya The Varietes Of Religious Experience William
James menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat
dikelompokan menjadi 2 tipe, yaitu :
·
Tipe orang yang sakit
jiwa
·
Tipe orang yang sehat
jiwa
Kedua tipe ini
menunjukan perilaku dan sikap keagamaan yang berbeda, begitu pula cara penanganan
bagi seorang Da’i.
·
TIPE ORANG YANG SAKIT
JIWA
-
Temperamen
-
Gangguan jiwa
-
Konflik dan keraguan
-
Jauh dari Tuhan
Pada umumnya orang yang
sakit jiwa cenderung menampilkan sikap pesimis. Dengan demikian Da’i ditantang
harus lebih extrim dalam menanganinya.
·
TIPE ORANG YANG SEHAT
JIWA
-
Optimis dan gembira
-
Ekstrovet dan tak
mendalam
-
Menyenangi ajaran
ketauhidan yang liberal
3.
Hubungan
Antara Da’i dan Mad’u
Dalam kegiatan
dakwah selalu terjadi proses interaksi sosial, yaitu hubungan antara Da’i dan Mad’u.
Interaksi sosial dalam proses dakwah ini ditujukan untuk mempengaruhi mad’u
yang akan membawa perubahan sikap prilaku seperti mempererat tali perasaudaraan
dengan silaturahmi dan meneladani kepribadian yang baik dari sang Da’i.
Dakwah merupakan
suatu upaya untuk merealisasikan ajaran Islam ke dalam kehidupan manusia.
Langkah pertama dalam sebuah dakwah yaitu hadirnya orang-orang yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar. Kelompok
inilah yang disebut subjek dakwah (da’i). Da’i adalah orang yang melaksanakan
dakwah baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan baik secara individu, kelompok,
atau berbentuk lembaga.
Selain itu unsur
kedua terwujudnya suatu kegiatan dakwah yaitu adanya orang yang menjadi sasaran
dakwah. kelompok atau orang inilah yang disebut dengan mad’u. Antara da’i dan
mad’u terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Seorang da’i dalam
aktivitas dakwahnya harus terlebih dahulu memahami kondisi dan karakter mad’u.
Begitu pula seorang mad’u harus memandang seorang da’i dari segi kredibilitas
yang dimiliki oleh seorang da’i.
Dalam ilmu
kedokteran dikenal istilah psikosomatik ( kejiwabadanan ). Dimaksudkan
dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang
erat antara jiwa dan badan. Jika jiwa berada dalam kondisi yang kurang normal
seperti susah, cemas, gelisah dan sebagainya maka badan turut menderita.
Kesehatan mental
adalah suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman,
dan tentram. Upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain
melalui penyesuaian diri secara risignasi ( penyerahan diri sepenuhnya kepada
Tuhan ). Maka dari itu Da’i sangat
berperan dalam upaya tersebut.
Citra da’i yang
dijadikan panutan adalah mereka yang memiliki ketokohan karena keulamaannya.
Idealnya sikap seorang dai yang menjadi teladan itulah da’i yang memiliki
kecakapan, kedewasaan, kejujuran, keberanian dan kepantasan. Namun Problematika
yang sering muncul dalam pelaksanaan dakwah sekarang ini adanya mad’u yang
memiliki tingkat pemahaman yang kurang terhadap karakteristik da’i yang harus
dijadikan suri tauladan.
Secara fenomenal
di era serba praktis dan ekonomis ini muncul realitas baru yang menjadi warna
tersendiri dalam dunia dakwah, yaitu da’i ngetren, popular, dan memiliki
penggemar layaknya seorang aktor dan aktris yang manggung di dunia selebritas.
Hal itulah yang menjadi pendorong minat mad’u untuk mengikuti kegiatan dakwah.
Semakin tinggi popularitas da’i akan akan semakin tinggi pula minat mad’u untuk
mengikuti kegiatan tabligh.
Seorang da’i manakala ingin agar pesan dakwahnya dipahami maka
dakwahnya itu harus disampaikan dengan pendekatan psikologis, yakni sesuai
dengan tingkatan dan kebutuhan jiwa mad’u. Dakwah seperti itulah yang disebut
dakwah persuasif. Sesuai dengan ungkapan Nabi yang artinya: “Berbicaralah
kepada orang sesuai dengan kadar akal mereka.”
Kadar akal dapat dipahami sebagai tingkatan intelektual, biasa juga
dipahami sebagai cara berpikir, cara merasa dan kecendrungan kejiwaan yang
lainnya.
jika seorang da’i berdakwah setiap hari, tetapi masyarakat tidak
faham, malah mereka jengkel kepadanya, mereka tidak membantu
program-programnya, jurang pemisah kepada mereka semakin lebar, itu semua
merupakan indikasi bahwa dakwah dari da’i tersebut tidak efektif.
4.
Model-model
Hubungan Da’i dan Mad’u
A.
Motivasi
Tingkah Laku
Para psikologi membatasi konsep motivasi pada faktor-faktor yang menguatkan
perilaku dan memberikan arahan pada perilaku itu. Bahwa yang dimaksud dengan
motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang
mengarahkan tingkah laku ke suatu tujuan atau perangsang. Suatu organisme yang
di motivasi akan melakukan aktivitasnya secara lebih giat dan lebih efisien
dibandingkan dengan organisme yang beraktivitas tanpa motivasi.
B.
Interaksi
Sosial
Interaksi sosial diartikan sebagai suatu bentuk hubungan antara dua
orang atau lebih. Dimana tingkah laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang
lain, perubahan tingkah laku tersebut terjadi melalui dorongan antar pribadi
dan respons antarpribadi yang bersifat biologis proses tersebut berlangsung
timbal balik
C.
Komunikasi
Komunikasi adalah suatu faktor yang penting bagi perkembangan hidup manusia
sebagai makhluk sosial. Tanpa mengadakan komunikasi individu tidak mungkin
dapat berkembang dengan normal dalam lingkungan sosial
D. Leadership (Kepemimpinan)
Dalam kepemimpinan
terdapat hubungan antar manusia, yaitu hubungan memengaruhi dan hubungan
kepatuhan ketaatan para pengikut kepada sang pemimpin.
Faktor-faktor adanya hubungan atau interaksi sosial :
a. Faktor Imitasi
Imitasi memiliki
nilai positif terutama dalam bidang pendidikan dan perkembangan individu,
dimana imitasi dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Imitasi juga
dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan
baik. Sedngkan segi negatifnya, hal-hal yang salah ataupun secara moral ditolak
selain itu, imitasi ini menimbulkan terhambatnya perkembangan berfikir kritis
artinya adanya peranan imitasi dalam interaksi social dapat memajukan
gejala-gejala kebiasaan malas berfikir kritis.
b. Factor Sugesti
Factor sugesti
memegang peranan penting baik dalam pandangan politik, orang tua, pendidik,
teman sebaya, yang ikut membantu dalam pembentukan norma kelompok dan
prasangka-prasangka social.
c. Factor Identifikasi
Identifikasi adalah sebuah istilah dalam psikologi Sigmund
freud untuk menguraikan mengenai cara seorang anak belajar norma-norma social
dari orangtuanya, yaitu kecenderungan bersifat sadar bagi seorang anak.
d. Faktor Simpati
Simpati dapat
idartikan sebagai perasaan tertarik seseorang terhadap orang lain. Seperti
halnya prosesi identifikasi timbulnya simpati merupakan proses sadar bagi diri
mansuia yang merasa simpati terhadap orang lain. Peranan simpati terlihat dalam
hubungan persahabatan antara dua orang atau lebih.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Interaksi adalah suatu bentuk hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah
laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang lain dan dapat menibulkan berbagai dampak dari interaksi timbal-balik antara satu dan yang lainnya,
baik dampak positif maupun negatif adapun kaitannya dengan para pegiat
dakwah. Adapun factor dasar interaksi yaitu factor imitasi,
factor sugesti, factor identifikasi, dan factor simpati. Adapun bentu-bentuk
intaraksi meliputi motivasi tingkah laku, interaksi social, komunikasi,
leadership (kepemimpinan).
Dalam
kegiatan dakwah selalu terjadi proses interaksi sosial, yaitu hubungan antara
Da’i dan Mad’u. Interaksi sosial dalam proses dakwah ini ditujukan untuk
mempengaruhi mad’u yang akan membawa perubahan sikap prilaku seperti mempererat
tali perasaudaraan dengan silaturahmi dan meneladani kepribadaian yang baik
dari sang Da’i. Dengan demikian tujuan dakwah yaitu mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2004. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Al-Ghazali, Muhammad. 2002. Memahami Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Jalaluddin & Ramayulis. 1989. Pengantar Ilmu Jiwa Agama.
Jakarta: Kalam Mulia
Crapps, Robert W.1993. Dialog Psikologi dan Agama.
Yogyakarta: Kanisius
Thouless, Robert H. 1992. Pengantar Psikologi Agama.
Jakarta: Raja Wali Pres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar